12 Jun 2013

Emang enak kalo banyak?


Kuliner merupakan salah satu kekayaan yang dimiliki Indonesia. Berbagai bentuk dan rasa tersebar dari Sabang sampai Papua. Berbicara kuliner, tentu yang menjadi salah satu fokus perbincangan adalah soal rasa; manis, asam atau asin. Baru-lah muncul kesimpulan; enak, kurang enak atau tidak enak. 
 
Makyoss” begitu kesimpulan salah satu program acara TV ketika sang presenter habis mencicipi makanannya. Konon katanya kata itu keluar kalo yang dia cicipi benar-benar enaknya luar biasa. 
 
gambar diambil dari ceritamakan.wordpress.com
Tapi, itu tidak berlaku buat teman saya, bukan presenter. Dia hanya aktifis mahasiswa yang saya tidak akan menyebutkan namanya disini. Kenapa? Itu karena saya takut, takut membocorkan “aib-nya”. Buat dia, enak, maknyos, top markotop, lezat atau apalah namanya bukan soal rasa, tapi lebih pada persoalan PORSI. Ya, soal ukuran; banyak atau sedikit, ngambil nasi-nya atau lauknya sendiri atau diambilin sama yang punya warung. Kesimpulannya enak atau maknyos adalah banyak dan ambil nasi sendiri. Mungkin karena itu pula bobot badannya mencapai 80 kg-an.

Porsi menjadi salah satu visi utama dalam penjelajahan kulinernya sebagai seorang mahasiswa rantau. Dia cukup hapal warung makan dimana si pembeli bisa bebas mengambil nasi atau dengan porsi yang banyak. Kalo tempat makan radius 100-500 meteran dekat-dekat kampus dia sudah hapal di luar kepala. Bahkan yang radiusnya kiloan meter pun dia sudah banyak yang tau.

Salah satu makanan favoritnya, selain nasi yang banyak tentunya, adalah bakso. Dalam satu minggu lidahnya mesti harus kena sama bakso. Ya minimal 3 kali lah dalm satu minggu.

Di suatu siang yang cukup panas, sepulang kuliah, lidahnya sudah tak tahan lagi dengan bakso. Hamparan mie besar bergelombang, bakso super yang berbahan daging sapi serta lautan air gurih dengan tambahan sambal yang sedikit pedas menghipnotisnya. Mulutnya sudah kumat-kamit, seakan air liur itu adalah kuah bakso yang membasahi lidahnya. Matanya sudah berkaca-kaca meski terhalang kaca mata, seakan ia sudah melahap 1 sendok sambal pedas.

Dan buzz… motor matic-nya meleset kencang… melewati kerumunan teman kampusnya, menghiraukan sapaan mereka.

Tibalah ia di tempat jualan bakso pavoritnya:

mas mie ayam bakso yah !! baksonya 2 bakso super ya !!” pesan dia sesampainya tiba di depan penjual bakso.

Mie ayam bakso adalah mie ayam yang ada baksonya. Biasanya di hidangkan dalam satu mangkok. Bakso super merupakan bakso dengan ukuran besar, minimal ukurannya berdiameter 5 cm. ia duduk menunggu. Sendiri. Di meja paling tengah, karena meja lainnya sudah penuh diisi pelanggan yang kebanyakan cewek dan juga berpasangan. 
 
Mukanya mulai berseri-seri ketika salah seorang pelayan (cowok) menghampirinya. Si pelayannya juga berseri-seri. Mungkin mereka sudah terjalin chemistry, suka saling suka sehingga saling melempar senyuman.
Ketika mangkok diturunkan, dia cukup heran. Si pelayan memberikan 2 mangkok, padahal dia Cuma pesan mie ayam bakso yang biasanya disatu mangkok kan. Tapi sudah lah. Dia tidak protes. Mungkin ini karena bakso-nya super, dua lagi, pikirnya. Jadi harus di pisahkan biar nggak tumpah. Lagian lumayan juga kalo 2 mangkok, kan air nya jadi banyak. Dan itu pasti enak.

Tapi, karena 2 mangkok itu dia tetap merasakan malu. Apalagi di samping kanan dan kirinya ada cewek-cewek, ya meski sama pasangannya. Untuk mengelabui penglihatan dari pelanggan yang duduk disampingnya, dia mengambil tempat krupuk dan mendekatnya ke mangkok yang isi nya 2 bakso super. Dengan begitu dia berharap orang di sekelilingnya hanya mengira dia makan satu mangkok mie ayam.

Perlahan-lahan dia mulai mencicipi. Cicipan awalnya di mulai dari kuah mie ayam nya. Pelan-pelan sambil sesekali di tiup karena dia tau itu panas kalo langsung dimasukkan ke mulut. Aktifitas cicipannya terhenti ketika ada seorang ibu muda yang lumayan cantik dan hendak pulang. Ibu muda itu beserta anaknya yang kira-kira berusia 4 tahunan. Ibu muda itu akan melewati mejanya kalo mau pulang karena dia duduk di meja barisan depan. 
 
Ketika sudah sejajar dengan kursi tempat duduk teman saya, ibu muda itu terhenti. Jelas bukan karena dia naksir dan ingin merayu teman saya, tapi itu karena ada tarikan baju oleh anaknya. Si anak hendak menunjukkan sesuatu:

bunda…bunda… ini ko om-nya makan 2 mangkok? Padahal kan sendirian om-nya?”

Bukan polos, anak itu cukup kritis, dia sudah bisa membedakan mana yang baik dan buruk. Si ibu tidak menjawabnya. Dia hanya tersenyum, sebenarnya dia lebih enak tertawa, tapi mungkin akan nggak bagus buat kecantikannya. 
 
Teman saya hanya tersenyum di luar. Di dalam hatinya bergejolak, sikap kritis yang harus diemban sebagai aktifis mahasiswa ternyata di kalahkan oleh anak kecil. Dia dipermalukan di depan orang banyak. Ingin ia melempar anak itu dengan bakso, tapi setelah dipikir-pikir saying juga kalo nggak di makan. Biarlah… 
 
Wahai temanku, andai saja aku ada disana kala itu, aku akan memberitahu bahwa kekritisanmu belum ada apa-apanya. Liat anak itu !! dengan kepolosan dan penuh kejujuran dia melakukan sikap yang kritis dan tepat sasaran. Kekritisannya mampu menelanjangi kondisimu sebenarnya. Itulah sebenarnya sikap kritis, tanpa pesanan, tanpa tekanan tapi betul-betul muncul dari kesadaran. Terakhir aku hanya ingin bilang:
emang enak kalo banyak?”


0 komentar:

Posting Komentar